Nama pusat perbelanjaan Pasar Tanah Abang pastinya sudah akrab sekali di telinga penduduk Indonesia. Tak cuma warga ibu kota, penduduk dari luar daerah juga doyan ke pusat grosir tekstil di kawasan Jakarta Pusat itu.
Setiap hari, Pasar Tanah Abang selalu ramai. Tapi keramaian itu semakin menggila ketika memasuki bulan-bulan tertentu seperti, jelang Lebaran dan Idul Adha. Maklum saja, segala jenis busana, bahan pakaian, seprei, gorden dan barang-barang berjenis kain lainnya bisa didapat di tempat ini dengan berbagai macam pilihan dan pastinya harga lebih miring.
Seiring dengan peminat yang bertambah, Pasar Tanah Abang terus berbenah diri agar tak ditinggal konsumen setianya. Pembangunan dan perluasan gedung terus dilakukan untuk memuaskan konsumen yang ingin berbelanja.
Tapi di balik kemegahan gedung bercat hijau itu, mungkin tak banyak yang tahu bagaimana awal mula kawasan Tanah Abang memiliki pasar sebesar itu. Saking tenarnya pasar itu, tersiar kabar kawasan ini menjadi pusat grosir tekstil terbesar se-Asia.
Sedikit melihat ke belakang, Pasar Tanah Abang mulanya hanya pasar biasa yang didirikan saat Jakarta dipimpin Gubernur Jenderal Abraham Patramini. Bangunan yang didirikan tanggal 30 Agustus 1735 itu mulanya hanya beroperasi setiap hari Sabtu saja, sehingga namanya di awal adalah Pasar Sabtu.
Ide mendirikan pasar ini ditawarkan oleh Yustinus Vinck. Yustinus meminta izin Abraham Patramini. Izin yang diberikan saat itu, Pasar Tanah Abang adalah hanya digunakan untuk berjualan tekstil serta barang kelontong. Dulu, pasar ini sangat bersaing dengan Pasar Senen (Welter Vreden) yang lebih dulu berkembang.
Di tengah pembangunannya, sekitar tahun 1740 terjadi peristiwa Chineezenmoord. Saat itu orang-orang China dibantai, harta benda warga dirusak, tak terkecuali kawasan Pasar Tanah Abang dibakar.
Kegiatan perdagangan di kawasan itu lantas lumpuh berpuluh-puluh tahun. Setelah suasana kembali kondusif, akhirnya tahun 1881, Pasar Tanah Abang kembali dibangun dengan jam buka ditambah satu hari, menjadi Rabu dan Sabtu.
Karena masih trauma, pasar itu dibangun sederhana, hanya berdinding bambu dan papan serta atap rumbia. Seiring dengan bertambahnya pengunjung, Pasar Tanah Abang terus mengalami perbaikan hingga akhir abad ke-19, di mana bagian lantainya mulai dikeraskan. Tak sampai di situ perbaikan dan pengembangan bangunan terus dilakukan di tahun-tahun berikutnya.
Setelah dibangun Stasiun Tanah Abang, pasar itu kian menggeliat merangkul pembeli. Hingga kini lebih kurang ada puluhan ribu kios berdiri di beberapa gedung yang dibagi beberapa blok.
Tak hanya pedagang yang legal, strategisnya berbisnis di tempat itu juga mengundang pedagang dari berbagai daerah di luar Jakarta. Kini, saking padatnya pedagang, mereka sampai memakan badan jalan untuk mendirikan tenda sebagai lapak berjualan.
Pasar Tanah Abang kini telah modern. Kemacetan selalu melanda titik itu karena kepadatan pedagang dan pengunjung. Berulang kali PKL ilegal itu ditertibkan, namun tak ada hasil.
Melihat lancarnya berbisnis di tempat itu, rupanya mendatangkan niatan jahat dari beberapa kalangan. Mereka memalak pedagang yang menempati lokasi ilegal dengan iming-iming menjamin tempat usaha mereka aman dari gusuran. Demi mencari sesuap nasi, mau tidak mau pedagang-pedagang di sana rela merogoh kocek asal aman berjualan.
sumber: http://www.merdeka.com/jakarta/cerita-tanah-abang-jadi-pusat-perbelanjaan-tekstil-modern.html